Wakaf Gaya Hidup Sahabat Nabi Saw

Sahabat
nabi Saw senantiasa berlomba-lomba dalam beramal kebaikan. Tidak hanya dalam
masalah ibadah madhoh, tetapi juga dalam ibadah maal. Saat Rasulullah saw menginformasikan
kepada para sahabat tentang kebutuhan dana operasional untuk kebutuhan perang
atau untuk membantu saudara muslim lain yang membutuhkan, mereka
berlomba-lomba, jor-joran dalam membelanjakan hartanya.
Salah
satu hadist yang menjadi landasan wakaf adalah riwayat Ibnu Umar ra. Ada pun
bunyi hadist ini sebagai berikut:
Dari
Ibnu Umar ra, ia berkata: “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang
tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta
petunjuk, umar berkata: “Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di
Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau
perintahkan kepadaku?”
Rasulullah
SAW bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan
engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak
diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil
pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya,
sabilillah Ibnu sabil, dan tamu, dan tidak dilarang bagi yang mengelola
(nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau
memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta.”
Syariat wakaf yang telah dilakukan Umar bin Khattab disusul oleh Abu Thalhah yang
mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh
sahabat Nabi SAW lainnya seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di
Makkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Makkah.
Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan
tanahnya yang subur. Mu’ad bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan
sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin
Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah istri Rasulullah SAW.
Nabi
juga mewakafkan perkebunan Mukhairik, yang telah menjadi milik beliau setelah
terbunuhnya Mukhairik ketika perang Uhud. Beliau menyisihkan sebagian
keuntungan dari perkebunan itu untuk memberi nafkah keluarganya selama satu
tahun, sedangkan sisanya untuk membeli kuda perang, senjata dan untuk
kepentingan kaum Muslimin. Mayoritas ahli fikih mengatakan bahwa peristiwa ini
disebut wakaf.
Sebab Abu Bakar ketika menjadi Khalifah tidak mewariskan perkebunan ini kepada kelurga Nabi, dan sebagian keuntungannya tidak lagi diberikan kepada mereka. Ketika Umar Bin Khattab menjadi Khalifah, ia mempercayakan pengelolaan perkebunan itu kepada Al-Abbas dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika keduanya berbeda pendapat, Umar tidak mau membagikan kepengurusan wakaf itu kepada keduanya, khawatir perkebunan itu menjadi harta warisan. Karena itu Umar segera meminta perkebunan itu dikembalikan ke Baitul Mal.
Wakaf Tanah Khaibar
Wakaf lain yang dilakukan pada zaman Rasulullah adalah wakaf tanah Khaibar dari Umar bin Khattab. Tanah ini sangat disukai oleh Umar karena subur dan banyak hasilnya. Namun demikian, ia meminta nasehat kepada Rasulullah tentang apa yang seharusnya ia perbuat terhadap tanah itu. Maka Rasulullah menyuruh agar umar menahan pokoknya dan memberikan hasilnya kepada para fakir miskin, dan Umar pun melakukan hal itu. Peristiwa ini terjadi setelah pembebasan tanah Khaibar pada tahun ke-7 Hijriyah. Pada masa Umar bin Khattab menjadi Khalifah, ia mencatat wakafnya dalam akte wakaf dengan disaksikan oleh para saksi dan mengumumkannya. Sejak saat itu banyak keluarga Nabi dan para sahabat yang mewakafkan tanah dan perkebunannya. Sebagaian di antara mereka ada yang mewakafkan harta untuk keluarga dan kerabatnya, sehingga muncullah wakaf keluarga (wakaf dzurri atau ahli).
Sahabat
Usman bin Affan juga mewakafkan sumur yang airnya digunakan untuk member minum
kaum Muslimin. Sebelumnya, pemilik sumur ini mempersulit dalam masalah harga,
maka Rasulullah menganjurkan dan menjadikan pembelian sumur sunah bagi para
sahabat. Beliau bersabda,
“Barang
siapa yang membeli sumur Raumah, Allah mengampuni dosa-dosanya” (HR. An-Nasa’i).
Dalam
hadis ini beliau menjanjikan bahwa yang membelinya akan mendapatkan pahala yang
sangat besar kelak di surga. Karena itu, Utsman membeli sumur itu dan
diwakafkan bagi kepentingan kaum Muslimin.
Selain itu, Abu Thalhah juga mewakafkan perkebunan Bairuha’, padahal perkebunan itu adalah harta yang palinh dicintainya. Maka turunlah Ayat yang berbunyi. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”.
Ayat inilah yang membuat Abu Thalhah semangat mewakafkan perkebunannya. Rasulullah telah menasehatinya agar ia menjadikan perkebunannya itu keluarga dan keturunannya. Maka Abu Thalhah mengikuti perintah Rasulullah tersebut, dan di antara keluarga keluarga yang mendapat wakaf dari Abu Thalhah adalah Hassan binTsabit.
Info program wakaf AlQuran dan pembinaan, klik disini
https://wakafquran.org/indonesiamengaji
Posting Komentar untuk "Wakaf Gaya Hidup Sahabat Nabi Saw"